Senin, 11 Agustus 2014

Diary, sebuah rahasia, dan pembalasan dendam



Diary, sebuah rahasia, dan pembalasan dendam.

Pagi ini cukup cerah. Burung-burung berkicau indahnya.  Matahari pun bersinar dengan gagah tanpa terhalangi oleh setitik awanpun. Meski begitu, cuaca tidak terlalu panas. Dikarenakan di sekitar ditanam pohon-pohon untuk memperbanyak produksi oksigen. Selain pohon, dibawahnya juga terdapat berbagai macam bunga, yang membuat daerah sekitar sekolahku menjadi sangat cantik. Sungguh, aku suka dengan keadaan ini. Tenang, damai, dan tentram. Terlebih, siswa-siswi sekolahku belum ada yang datang. Wajar saja, sekolah masih menunjukan pukul 06.15, sementara pelajaran dimulai pukul 07.30.

“BEBYYY!!!!!!!!!!!!!!!”

Uhh, pasti dia. Ya, dia. Nabilah Giovani Hopkins. Cewek keturunan Amerika itu adalah sahabatku. Dia ini cukup cerewet. Selain cerewet, dia juga sangat jahil dan berisik. Entahlah. Aku juga bingung mengapa aku bisa bersahabat dengannya. Ah, sebelumnya aku lupa memperkenalkan diri. Aku Beby. Beby Nur Savira. Jika sahabatku itu adalah orang bule, bukan berarti aku juga keturunan bule. Aku orang Indonesia asli.

Aku pun mengalihkan pandanganku kea rah sahabatku yang tengah berlari menghampiriku yang sedang asik memandangi taman. Sesaat, aku mengerutkan keningku saat melihat wajahnya yang murung. Namun setelahnya, aku kembali menunjukan ekspresi biasa. Hanya ada 2 hal yang membuat wajahnya murung di pagi hari. Pertama, ia lupa mengerjakan PR yang membuat ia harus datang pagi. Kedua, ia lupa sarapan pagi. Ah, tapi sepertinya ia sedang mengalami hal yang pertama, karena memang jam masih menunjukan pukul setengah 7, ah bahkan kurang.

“ada apa? Lupa ngerjain PR?” aku bertanya diikuti tanganku yang meraih tas punggung ku yang ku letakan di sebelah bangku yang kududuki.
“hehe, iya! Ah, kamu memang sahabatku yang paling pengertian!” ucapnya sambil cengengesan.
“kita sudah bersahabat sejak kelas 1 SMP. Aku sudah hafal dengan semua kelakuanmu, nona Hopkins” ucapku dengan nada mengejek, membuat sahabatku yang satu ini mendelik.
“uh, sudah ku bilang jangan memanggilku seperti itu! Lagipula, Hopkins itu nama belakang ayahku. Nabilah Giovani, itulah namaku!”
“iya, iya! Udah ah, jadi minjem gk? Aku gk mau ya, kamu ngomel-ngomel sama Aku karena kamu dihukum!”
“nah, kalau yang satu itu harus!!! Mana bukumu?” ucapnya sambil duduk di sebelahku. 

Aku pun segera menyerahkan buku milikku, yang langsung di ambil olehnya. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya. Sementara ia menulis, aku melanjutkan kegiatanku memperhatikan keadaan taman sekolahku. Hah, entah kenapa taman ini begitu indah untuk diperhatikan, walaupun sudah sangat sering aku memperhatikan taman ini. Bahkan saking seringnya, aku sampai hafal berapa jumlah bunga yang tumbuh dalam satu pot. Eh, untuk yang satu ini bukan aku yang menghitungnya. Tapi Nabilah.

‘biar sekalian. Sejak kita menginjakan kaki di sekolah ini, kamu hanya memperhatikan taman ini. Nah, sebagai sahabat yang baik aku menghitung jumlah bunga di tiap pot, agar kamu semakin memperhatikannya!’

Itulah yang ia ucapkan saat menyerahkan secarik kertas yang berisi jumlah bunga di tiap pot. Bahkan, di tiap pot tersebut terpasang nomor-nomor, yang ia pasang sesuai dengan yang ia tulis. Aneh, tapi itulah sahabatku, Nabilah Giovani. Aku pun kembali mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru taman, hingga akhirnya mataku berhenti di satu titik. Mataku terus menatap intens ke arah bawah pohon Cemara, dimana disana tergeletak sebuah buku bersampul biru laut, yang tampak lusuh. Tanpa sadar, aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pohon tersebut.

“Beby! kamu mau kemana?”

Pertanyaan Nabilah membuatku tersentak. Aku pun menoleh ke arahnya, “ah, Cuma mau keliling aja. Bosen juga Cuma nungguin kamu nulis” ucapku memberi alasan.

“oh, yaudah. Jangan jauh-jauh Beb, ntar kalo kejauhan nanti kamu ilang lagi! Hihihi” candanya. Aku hanya memutar kedua bola mataku, lalu berjalan menuju buku tersebut.

‘DIARY!!’ batinku saat aku sudah memegang buku tersebut. Sebenarnya siapa pemilik buku ini? Dan, kenapa juga buku ini di tinggalkan begitu saja disini? Ini kan Diary, buku pribadi. Apa pemilik buku ini tidak takut kalau rahasianya terbongkar? Jika perkiraanku benar, buku ini sudah cukup lama berada disini, karena sampul buku tersebut yang mulai usang. Ragu-ragu, aku membuka buku Diary tersebut. ‘Melody Ivanovic. 28 Mei 1987.’ Itulah tulisan yang ada di halaman depan. 1987? Berarti pemilik buku ini sudah tidak bersekolah lagi disini. Aku pun menutup buku tersebut, lalu kembali menghampiri Nabilah yang sepertinya sudah selesai menulis.

“udah?”
“sudah. Terimakasih, Beby!” ucapnya sambil menyerahkan bukuku. Aku pun segera memasukan buku tersebut ke dalam tasku, lalu meletakannya di punggungku.
“ya udah, yuk kita ke kelas!” ajakku. Dia hanya mengangguk. Kami berdua pun berjalan menuju kelas kami, XI-IPS 2. Sesampainya dikelas, kami langsung duduk di bangku kami yang terletak di pojok kelas.
“eh, Nab. Tadi aku nemu diary!” ucapku setelah mengetahui bahwa guru mata pelajaran yang seharusnya mengajar tidak dapat hadir.
“diary? Milik siapa?”
“kalau tidak salah, namanya Melody Ivanovic”
“lalu, kenapa kau tidak melapor pada guru? Dengan begitu, diary itu akan kembali ke orang bernama Melody itu” ucap Nabilah.
“tidak, tidak! Dalam buku itu tertulis tanggal lahirnya. Kau tau tanggal, bulan, dan tahun berapa dia lahir? 28 maret 1987!!!”
Nabilah yang sedari tadi memainkan HPnya pun menoleh ke arahku dengan tatapan kaget, “kau serius?”
“kau berfikir aku bohong? Ah sudahlah. Aku tidak mau membahas hal ini di sekolah. Karena menurut kabar yang aku dengar, disekolah ini seringkali ada hantu-hantu yang berkeliaran! Hiii!!!”

Kami berdua pun melanjutkan obrolan, tanpa membahas hal-hal mengenai buku diary, ataupun cewek bernama Melody Ivanovic itu. Namun walaupun begitu, entah kenapa sejak tadi aku mengungkit soal diary, suasana sedikit mencekam. Ah, entahlah. Mungkin hanya perasaan ku saja. Ya, mungkin.

“tolong aku….”

DEGG!!!!

Aku tersentak kaget saat sebuah suara perempuan terdengar. Suara yang begitu lirih, membuatku merinding. Kulirik Nabilah yang duduk disebelahku. Raut wajahnya menampakan ekspresi tenang. Apa mungkin hanya aku yang mendengarnya?

“Nab, tadi kamu denger suara gitu gak?” tanyaku.
“apaan? Orang daritadi gk ada suara!” balasnya sambil terus focus ke gadgetnya.

Jawaban Nabilah semakin membuat bulu kudukku meremang. Tanpa sadar, aku mengusap tengkuk belakangku. Mata ku juga sedari tadi selalu mengawasi sekeliling. Hingga akhirnya, mataku berhenti saat menatap pojok kelas, tepatnya di belakang kursi guru. Ah, tidak. Aku tidak menatap kursi guru, melainkan sosok yang berada di belakangnya. Sosok perempuan, berbaju seragam yang mirip sepertiku, namun desainya lebih simple. Jika seragamku memiliki corak di bagian lengan juga samping kemeja, maka yang sosok itu kenakan hanya kemeja putih polos. Untuk rok, motifnya sama dengan yang aku kenakan.

Aku terus menatap sosok tersebut. Kepalanya yang menunduk membuat rambut panjangnya menutupi wajahnya.  Kulitnya putih, pucat. Seperti tidak ada aliran darah di tubuhnya. Ah, di bagian tangannya pun Nampak beberapa luka memar. Aku terus memperhatikan sosok itu, hingga saat sosok itu memperlihatkan wajahnya, aku tersentak kaget. Wajahnya pucat, mulutnya terkatup rapat, sementara matanya menatap tajam ke arahku. Mulutnya yang sedari terkatup, perlahan berubah menjadi seringaian mengerikan. Tanpa sadar, aku memundurkan tubuhku hingga menempel ke dinding. Oh, sial! Apa sekarang aku memiliki kemampuan melihat hal gaib?

“OYYY BEBY!!!!!!!!!!”

Teriakan Nabilah yang tepat di kupingku, membawa ku kembali ke alam nyata. Aku pun menoleh kea rah Nabilah yang tengah menatapku khawatir. Ada apa dengannya?

“kau kenapa? Daritadi ku panggil, namun tak menyahut! Kau, sakit?”
“ah, tidak! Tidak ada apa-apa”
“tapi kenapa kau berkeringat dingin seperti ini?”

Refleks, aku mengusap kening dan juga sekitar leherku. Benar! Ternyata sedari tadi aku memperhatikan sosok itu, keringat dingin mengucur keluar dari tubuhku. Ah, mengingat sosok itu, ku lirik kembali tempat dimana sosok itu berada. Diam-diam, aku bernafas lega saat melihat sosok tersebut sudah tak ada.

“hey Beby, kau kenapa?”
Aku kembali menatap kea rah Nabilah, “tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing”
“kau sakit? Kalau kau sakit, lebih baik kita pergi ke UKS!”
“ah tidak perlu. Aku hanya butuh tidur. Bangunkan aku kalau guru masuk ya?”

Aku pun meletakan kepala ku diatas meja dengan kedua tangan yang kulipat sebagai bantalnya. Aku pun mulai memejamkan mataku, walaupun sedikit susah. Tapi akhirnya, kedua mataku mau berkompromi dengan kepalaku yang sudah sangat pusing. Sepertinya aku tertidur cukup lama, karena yang kuingat saat Nabilah membangunkanku, jam sudah menunjukan pukul satu yang berarti sedang berlangsung istirahat kedua.

“eh, udah jam satu?” ucapku kaget.
“iya. Kamu daritadi dibangunin gk bangun-bangun. Yaudah aku diemin aja! Untung guru-guru pada ngertiin, karena badan kamu memang agak panas. Kalo kamu sakit, mending ke UKS aja! Biar dikasih obat! Lagian kan kalo istirahat di UKS enak, bisa rebahan di kasur!”

Huh. Cerewetnya Nabilah kumat. Kadang aku kesal jika cerewetnya Nabilah sedang ‘on’, tapi aku tau cerewetnya Nabilah itu untuk kebaikan ku juga. Jadi ya sudahlah. Ku terima saja cerewetan Nabilah kali ini.

“udah cerewetnya? Kalo udah sekarang kamu temenin aku ke kantin! Aku laper nih!” ucapku sambil menarik tangannya.
“Beb, pelan-pelan dong!” protesnya. Tapi aku tak memperdulikannya, karena yang ada di fikiranku sekarang adalah secepatnya sampai dikantin dan mengisi perutku dengan makanan. Sesampainya di kantin, aku langsung memesan makanan.
“oy, Beb! Lepasin dulu bisa kali!” ucapan Nabilah membuatku menoleh, lalu dengan segera melepaskan tanganku dari tangannya.
“hehe, sorry!”
“sorry, sorry. you know? My hand is very hurt! Oh god, my friend is as strong as the Hulk?”

Yah keluar deh sifat bule Nabilah. Aku tak menjawab setiap ucapannya dan memilih mengantri untuk mendapat makanan. Dibelakangku, Nabilah terus saja menggerutu. Uhhh! Sambil menggerutu, aku mengedarkan pandanganku. Sepi! Hanya terlihat 6-10 orang yang ada di kantin. Aneh. Tak biasanya kantin sekolahku ini sepi, apalagi jam istirahat seperti ini.

“neng, mau pesen apa?”

Ucapan sang penjual kantin membuyarkan lamunanku. Ah, akhirnya sekarang giliranku memean. Aku pun mulai menyebutkan pesananku yang langsung dibuatkan oleh sang penjual. setelah siap, aku membawa mangkuk makananku ke meja yang ada di pojok. Namun, baru saja aku ingin menyuapkn 
makanan ke mulutku, suara gaduh dari luar kantin menghentikan kegiatanku.

“ada apa?” ucap Nabilah.
“mana ku tau! Kalau kau ingin tau, lebih baik ikut dengan me---“ belum selesai aku menyelesaikan ucapanku, Nabilah sudah nyelonong pergi. Aku pun tak ambil pusing dan melanjutkan makanku yang tertunda. Kini tinggal aku seorang diri di kantin. Ya, sendiri. Karena siswa-siswi lain sudah mengikuti jejak Nabilah untuk mengetahui sumber kegaduhan. Selesai makan, aku langsung membayar dan segera pergi ke kelas, karena tadi Nabilah mengirim pesan singkat yang menyuruhku untuk pergi ke kelas lebih dulu. Sesampainya dikelas, aku melihat seorang siswi yang duduk di bangku ku. Aku pun mengerutkan kening, dan berjalan menghampiri siswa tersebut.

“maaf, ini tempat dudukku. Kamu siapa ya?” ucapku ramah. Siswi itu hanya menatapku dengan pandangan kosong, lalu segera pergi keluar kelas. Aku terus menatap punggungnya yang semakin menghilang di balik pintu. Ah, sudahlah. Mungkin tadi hanyasiswi kelas lain yang menunggu temannya yang berada di kelas ini. Aku pun duduk ditempatku. Tak berapa lama, siswa-siswi kelasku berhamburan masuk.

“oyy, BebyyyY!!!!!!!” seru Nabilah sambil berjalan cepat menghampiriku.
“apa?”
“Ay..Ayana! Ayana! Dibelakang!” Nabilah bicara terbata-bata, membuatku kembali mengerutkan kening.
“apa sih? Mending sekarang kamu atur nafas dulu deh!” Nabilah menuruti perintahku. Ia segera mengatur nafasnya yang sedari tadi tak beraturan.
“Ayana ditemukan meninggal di toilet belakang!!!” ucap Nabilah saat nafasnya mulai normal.
“Ayana? Ayana Nur Azizah? Yang keturunan arab itu? Kelas sebelah? Yang satu ekskul sama aku itu?” tanyaku beruntun.
“iya, iya itu!!! Ayana yang itu!”
“dia meninggal kenapa?” tanyaku.
“gk tau! Soalnya gk ada luka apa-apa di tubuhnya. Tadi pak kepsek juga udah nelpon polisi!”

Aku tak menjawab. Aku hanya diam dalam lamunanku. Ayana Nur Azizah. Setahuku, Ayana adalah siswi yang ceria dan baik kepada sekitar. Ia juga salah satu siswi berprestasi. Kenapa bisa sampai ia seperti itu? Dibunuh? Tapi kalau dibunuh, Nabilah bilang tidak ada luka apapun di tubuhnya. Bunuh diri? Untuk pilihan kedua bisa saja terjadi jika mengingat alasan pertama. Tapi jika bunuh diri, Ayana tidak mungkin melakukan itu. Seingatku, dulu Ayana pernah bilang kepadaku dan juga teman ekskul yang lain, kalau dia berkeinginan menjadi seorang pengusaha dan membahagiakan orang tuanya. Lalu, apa penyebab meninggalnya Ayana? Ah sudahlah. Memikirkannya saja membuat kepalaku sakit.

Karena kejadian ini, sekolah dipulangkan lebih cepat. Ya walaupun tidak cepat-cepat juga, mengingat jam sudah menunjukan pukul setengah 2 siang, sementara sekolah bubar pukul tiga. Tapi, tak apalah. Aku dan Nabilah segera membereskan barang bawaan kami dan pergi ke parkiran. Nabilah berjalan menuju mobilnya, sementara aku berjalan menuju motor matic ku. Sebenarnya bisa saja aku sekolah membawa mobil seperti Nabilah, tapi untuk jalanan ibukota, sepertinya motor lebih efisien. 

Setelahitu, aku menghidupkan mesin motorku dan mengendarainya dengan kecepatan sedang.
Tak perlu waktu lama, aku sudah sampai di rumahku. Setelah memarkirkan motor, aku pun berjalan masuk.

“assalamualaikum!” ucapku sambil membuka pintu.
“wa’alaikumsalam. Eh dek, udah pulang?” ucap kakakku yang tengah menonton tv di ruang tengah.
“iiya nih kak. Di sekolah ada trgaedi gitu. Kak Kinal sendiri, gk kuliah?” Tanyaku pada kakakku. Kinalia Oktavia.
“ah kuliah lagi libur, soalnya para dosennya lagi ada pelatihan di Bali!” balasnya.
“wih asik banget! Ntar dosen-dosennya di Bali bukannya pelatihan, malah liat-liat bule lagi!” candaku sambil duduk di sebelah kakakku.
“yeee bisa aja kamu! Hahaha!”

Kami berdua pun mulai ngobrol ngalor ngidul. Entah apa yang kami bicarakan, karena temanya selalu berganti-ganti. Tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Aku pun segera pergi ke kamarku untuk mandi dan berganti baju. Saking asiknya mengobrol bersama kakakku, aku sampai lupa untu mengganti baju seragamku. Ckckck. Selesai mandi, aku langsung mengambil air wudhu karena bertepatan dengn selesainy aku mandi, adzan maghrib berkumandang. Selepas menjalankan kewajibanku sebagai umat muslim, aku langsung duduk di meja belajarku dan mengambil diary tadi.
Aku terus memperhatikan diary tersebut, sampai tiba-tiba diary tersebut terbuka dengan sendirinya, dan berhenti tepat ditengah buku. Di buku tersebut, terselip sebuah foto yang berisikan seorang gadis cantik. Di foto tersebut, gadis itu mengenakan baju lengan panjang berwarna abu-abu dan hotpants berwarna putih. Rambutnya terurai panjang, seperti membingkai wajah nya yang sangat cantik.

“ini siapa?” gumamku. Aku pun melihat bagian belakang foto tersebut.
“Melody Ivanovic. Kelas X-3 SMA Altamevia ‘03” itulah yang kubaca di bagian belakang foto tersebut. 2003? Itu berarti 11 tahun yang lalu. Kalau memang siswi bernama Melody itu bersekolah pada tahun 2003, berarti dia sudah lulus 8 tahun yang lalu. Lantas, kenapa buku ini bisa ada disana, tanpa ada yang menemukannya dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Ah sungguh. Semua ini membuat kepalaku pusing. Aku pun kembalii melihat isi buku tersebut. Namun, baru saja aku ingin membuka halaman selanjutnya, buku tersebut terbuka kembali ke halaman awal.

“pembalasan sudah dilakukan. Pembalasan atas apa yang terjadi 10 tahun yang lalu. 10 Siswi-siswi disana akan mati satu per satu, jika ‘dia’ tidak mengakhiri semuanya!”

Oh, hell! Apa maksud dari semua ini? Pembalasan? Pembalasan apa ang dimaksud? Lalu, siapa ‘dia’ yang dimaksud? Oh sungguh. Semua ini membuatku menjadi semakin pusing. Aku pun membaca apa yang ada di halaman selanjutnya.

“korban pertama adalah seorang siswi kelas XI. Berinisial ANZ. Tewas karena tercekik”
“korban selanjutnya adalah seorang siswa kelas X. berinisial AS. Tewas karena kecelakaan.”
“korban ketiga adalah siswi kelas XII. Berinisial YL. Tewas karena kecelakaan”
“korban keempat adalah siswa kelas XII. Berinisial MK. Tewas karena keracunan”
“korban kelima adalah siswa kelas XI. Berinisial RH. Tewas karena kecelakaan”
“korban keenam adalah siswi kelas X. berinisial VF. Tewas karena kecelakaan”
“korban ketujuhadalah siswa kelas XII. Berinisial NH. Tewas karena kecelakaan”
“korban ke delapan adalah siswa kelas XI. Berinisial AL. tewas karena gantung diri”

Aku terus membaca nama-nama yang ada di buku tersebut. ANZ. Itu bukankah inisial nama Ayana? Ah mungkin hanya kebetulan. Namun, kenapa hanya tertulis delapan korban? Ah sudahlah. Aku pun tak memperdulikannya lagi. Aku pun menutup buku tersebut dan pergi ke kasurku. Tidur.
Esoknya, aku bersekolah seperti biasa. Ramai! Itulah yang aku fikirkan saat pertama kali menginjakan kakiku di sekolah. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku. 06.25. masih cukup pagi, namun kenapa siswa-siswi disini sudah banyak yang berdatangan. Ah, sudahlah. Mungkin mereka ada urusan yang harus di selesaikan. Aku pun melanjutkan perjalananku menuju kelas. Di kelas, ternyata keadaan sudah ramai. Hal ini membuatku semakin bingung.

“loh, tumben udah pada dateng! Biasanya juga baru pada mandi!” ucapku dengan nada meledek.
“kita dateng pagi juga disuruh tau! Katanya mau ada pengajian buat Ayana. Emangnya lo gk di smsin?” ucap salah seorang temanku.
“eh, sms?” aku pun segera mengeluarkan HP ku, yang ternyata sedari kemarin aku matikan. Pantas saja. Saat aku menghidupkan HP ku, banyak sms masuk yang datang dari teman-teman sekolahku yang menyuruh seluruh siswa-siswi datang pagi.
“oh iya! Hehe. HP nya dari kemarin aku matikan, jadi ya gitu deh!” ucapku lalu berjalan menuju tempat dudukku, menghampiri Nabilah yang ternyata sudah datang.
“pagi nona Hopkins!” sapaku, membuatnya mendelik. Sementara aku hanya cengengesan.
“kamu semalem kemana aja? Aku sms gk dibales, di telpon gk aktif!” ucapnya.
“maaf, maaf. Kemarin aku lupa kalo HP nya aku matiin. Baru dihidupin tadi pagi”
“huh, padahal aku mau cerita!”
“cerita apasih? Sini sini cerita!”

Ia pun mulai menceritakan kisahnya kepadaku. Aku dengan seksama mendengarkan, hingga akhirnya sebuah suara dari speaker yang menyuruh kami untuk kelapangan menghentikan kisahnya. Kami pun segera pergi kelapangan, untuk melaksanakan pengajian. Oh ya, aku lupa member tau. Walaupun Nabilah keturunan Amerika, ia tetap beragama islam, dikarenakan kedua orang tuanya memutuskan untuk masuk islam sebelum menikah. Setelah mengambil posisi duduk yang pas tanpa terkena sinar mentari, kami pun mulai membaca surat yasin dengan khusuk.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”

Jeritan seseorang memecah kekhusukan kami yang sedang membaca yasin. Para guru juga siswa-siswi (termasuk aku dan Nabilah) segera berlarian menuju sumber suara, yang berasal dari koridor. sesampainya disana, kami menemukan seorang siswi yang menangis di samping jasat seorang siswa.

“ada apa ini?” Tanya seorang guru. Siswi itu pun menceritakan kejadian nya secara rinci. Saat itu siswi yang diketahui bernama Bella, kelas XI, sedang berjalan bersama siswa tersebut yang ternyata adiknya. Namun, saat sedang berjalan, tiba-tiba saja siswa tersebut terjatuh dari tangga, yang menyebabkannya tewas.

“kalau boleh tau, siapa nama siswa tersebut?” tanyaku.
“Rio. Agrario Stevent”

DEGG

Agrario Stevent, AS. Tewas karena kecelakaan. Kebetulan kah, atau.. entahlah. Aku pun mengedarkan pandanganku di sekitar tangga. Mataku membelalak saat melihat sosok yang waktu itu kulihat dikelas. Diakah yang membunuhnya? Atau kebetulan sosok itu berada disana? Tidak, ini bukan kebetulan. Ini sudah di rencanakan! Tapi, siapa pelakunya? Melody? Ah, tidak mungkin. Ia sudah lulus beberapa tahun yang lalu. Eh, tapi jika mengingat isi diarynya, bisa saja. Tapi, bagaimana caranya ia merencanakan semuanya dengan begitu apik, bahkan hingga menulis nama korban-korbannya?

“ini baru permulaan”

Sebuah suara tiba-tiba muncul di kepalaku. Suara itu! Suara yang kemarin minta tolong kepadaku! Darimana ia berasal? Dan siapa yang berbicara? Sudahlah. Kembali, sekolah dibubarkan lebih cepat. kejadian ini terus terulang hingga 3 hari kedepan. Korban-korbannya pun sesuai dengan yang ada di buku. Korban ketiga adalah siswi kelas XII bernama Yuvia Louise, atau YL. Tewas karena kecelakaan praktik kimia di lab. Korban ke-empat adalah siswa kelas XII bernama Maulana Kautsar atau MK. Tewas karena keracunan makanan kantin. Korban kelima adalah siswa kelas XI bernama Ridho Hakim atau RH. Tewas karena tertimpa kursi-kursi bekas saat bertugas membersihkan gudang.

Melihat hal ini, sungguh membuatku bingung. Sungguh. Terlebih 3 hari setelahnya kejadian yang 
sama terjadi lagi. Nama korban sesuai dengan inisial yang ada di buku. yang lebih membuatku bingung, disetiap terjadi hal seperti ini, sosok tersebut selalu muncul dengan seringaiannya yang mengerikan. karena penasaran, aku pun melihat buku tersebut. Tidak ada nama siapa korban selanjutnya.

“kau ingin mengakhiri semua ini, kan?”

Tiba-tiba sebuah suara melintas di kepalaku. Suara itu lagi! Iseng aku menjawab pertanyaannya.

“ya!”
“baiklah. Aku akan menunjukannya kepadamu”

Tiba-tiba saja buku tersebut terbuka hingga kehalaman tengah, lalu dari halaman tersebut muncul sebuah cahaya yang seakan menarikku ke dalam buku tersebut. Aku pun mengerjapkan mataku untuk menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Eh, ini kan.. koridor sekolahku!

“pak, bapak tidak bisa seperti ini dong! Kenapa harus saya? Nilai saya kan cukup baik!” protes seorang cewek berambut panjang yang ku kenal. Dia.. Melody Ivanovic!
“loh, itu hak saya dong? Saya guru kamu! Saya yang menentukan nilai rapot mu!” ucap seorang pria paruh baya yang sangat ku kenali. Pak Heru, atau kepala sekolah ku.
“ini gak adil pak! Oh saya tau! Bapak seperti ini Karena saya mergoki bapak jalan sama cewek lain kan? Iya kan? Bapak takut kalau rahasia bapak ini terdengar oleh istri bapak?” sentak Melody.
Pak Heru terdiam, “jaga ucapan kamu! Ini tidak ada hubungannya dengan kejadian itu!”
“lalu kenapa bapak tiba-tiba menurunkan nilai saya? Selama ini saya selalu mendapat nilai yang bagus!” Melody kembali protes.
“SUDAH DIAM!!!” bentak pak Heru sambil memukul wajah Melody, membuat Melody tersungkur dan pingsan.

Dari tempatku, aku dapat melihat dengan jelas apa yang kepala sekolahku itu lakukan. Perlahan, pak Heru menyeret tubuh Melody yang pingsan kea rah gudang, yang kuketahui sekarang berubah menjadi kantin. Sesampainya di gudang, pak Heru menjebol salah satu tembok, setelah itu tubuh Melody yang masih bernafas itu dimasukan kedalam. Kemudian pak Heru mengambil semen beserta batu bata. Untuk menutup lubang tersebut. Aku menutup mulutku tak percaya melihat apa yang sudah pak Heru lakukan. Aku harus menghentikan semua ini!!!!

Tiba-tiba saja, sebuah cahaya muncul dan menarikku.

BRUKKKK

Aku terjatuh begitu saja dari kursi. Semua terasa cepat dan nyata. Kulirik jam dinding yang menggantung, masih pukul delapan malam! Segera kuhubungi Nabilah, untuk segera datang ke sekolah. Aku sendiri segera pergi ke sekolah menggunakan motorku. Sesampainya di sekolah, kulihat Nabilah sudah sampai. Tapi tunggu! Ada satu mobil lagi yang kulihat di samping sekolah. Mataku memicing untuk mengenali mobil tersebut, itu…. Mobil pak Heru!

“oy Beby! ada apa sih nyuruh aku kesini malem-malem begini!? Serem tau!!!!” keluh Nabilah. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku menarik tangannya untuk segera berlari memasuki halaman sekolah.
“PAK HERU!!!!” teriakku saat melihat sosok kepala sekolahku.
“ah, Beby, Nabilah, ada apa?” Tanya pak Heru.
“bapak harus tanggung jawab! Karena bapak siswa-siswi disini terbunuh!” sentakku, membuat wajah pak Heru kaget.
“Beb, kamu apaan sih? Dia kepala sekolah!” bisik Nabilah, namun aku tak memperdulikannya.
“maksud kamu?”
“saya tau yang bapak lakukan terhadap siswi bernama Melody Ivanovic 10 tahun yang lalu!!! Dan sekarang, dia membalaskan dendam kepada bapak melalui siswa-siswi disini! Sekarang bapak harus tanggung jawab!”

Pak Heru terdiam mendengar ucapanku. Namun, tak berapa lama, seringaian muncul di wajahnya.

“ya, sebenarnya bapak tidak tau darimana kamu mengetahui hal ini. Tapi karena kalian mengetahuinya, lebih baik kalian menyusul Melody!” ucap pak Heru sambil mengeluarkan sebuah pisau dari bagian belakang celananya, dan menusukannya kepada Nabilah. Beruntung, Nabilah cepat menghindar. Kami pun segera berlari menghindari pak Heru.

“oh shit! Melody, keluarlah! Aku sudah membawakan pak Heru untukmu! Kau bisa membalaskan dendammu kepadanya!” teriakku sambil berlari. Nafasku dan Nabilah sudah sangat berantakan. Kami terus berlari, hingga tanpa sadar langkah kami menuntun kami ke kantin.
“sial! Kita kejebak!” umpat Nabilah. Dibelakang kami, pak Heru tersenyum penuh kemenangan.
“kalian tidak akan bisa kemana-mana lagi! Kalian akan mati!” ucap pak Heru.

WUSHHHHHH

Tiba-tiba saja angin berhembus dengan kencang.

“KAU YANG AKAN MATI!!!!”

Aku pun menatap sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan pak Heru. Itu.. Melody! Kejadian selanjutnya begitu cepat. aku dan Nabilah tidak dapat melihatnya, namun setelahnya kami menemukan pak Heru tergeletak. Matanya melotot, mulutnya menganga, sementara bagian dada juga perutnya berlubang. Aku segera menelpon polisi. Setengah jam kemudian, polisi datang. Aku pun memberi tahu perihal tubuh Melody yang ternyata dikabarkan hilang sepuluh tahun terakhir. Uuhhh, ini sangat menjijikan. Aku dan Nabilah sampai harus menutup hidung kami. Setelah ditanyai ini itu, kami berdua pun diperbolehkan pulang.

Esoknya, sekolah masuk seperti biasa. Namun, KBM diberhentikan. Aku dan Nabilah menjadi artis dadakan setelah kejadian semalam. Aku dan Nabilah hanya bisa tersenyum setiap kali ada yang menanyai perihal kejadian semalam. Karena jengah, aku dan Nabilah memutuskan untuk pergi ke taman. Sepertinya tempat ini cocok untuk menghindari teman-temanku.

“ehem, Beby! kamu..darimana kamu tau tentang pak Heru, tentang Melody?” Tanya Nabilah.
“Melody yang menunjukannya”
“oh ya? Bagaimana caranya?”
“entahlah, aku juga gk tau. Udah deh, gk usah bahas itu lagi. Kita kesini kan supaya gk ditanyain tentang hal itu!”

Akhirnya kami berdua mengobrol tentang hal-hal gk penting. Kami terus mengobrol tanpa memperdulikan waktu. Selain karena disini tenang, udaranya juga sejuk. Saat kami sedang asik mengobrol, tiba-tiba sebuah bayangan wanita cantik muncul di hadapan kami.

“Melody? Ada apa?” Tanya Nabilah.
“terima kasih karena sudah membantuku. Maaf sudah mengganggu kalian” ucapnya sambil tersenyum, lalu perlahan menghilang. Meninggalkan aku dan Nabilah di taman.
“yah, sepertinya masalah sudah selesai. Aku harap, gk akan ada kejadian kayak gini lagi!”
“iya bener! Serem gila!” timpal Nabilah.

Kami pun pergi meninggalkan taman dengan senyum ceria. Aku harap, setelah kejadian ini, tidak akan ada kejadian-kejadian aneh seperti ini lagi. Ya, aku harap.

FIN.
@ermalda_EULG

Minggu, 10 Agustus 2014

Karena Kita Tak Mungkin Bersatu

Karena kita tak mungkin bersatu.
Aku terduduk diam di bangku taman yang langsung mengarah ke lapangan basket. Di tanganku, terdapat sebuah buku dan juga sebatang pensil yang ku gunakan untuk menggambar pemandangan yang ada di depan ku. Pemandangan yang menurutku sangat indah. Ah, sungguh. Tak ada hal lain yang lebih indah daripada memperhatikannya. Ya, dia. Agus Nugroho. Entahlah, apa yang membuatku menyukainya. Mungkin, dari ketampanannya? Atau mungkin kecerdasannya? Atau, dari charisma nya dalam memainkan si kulit bundar berwarna orange itu? Aku juga tak tau alasannya, dan tak pernah mau tau apa alasannya.
Aku tersenyum saat melihat dia tertawa begitu berhasil memasukan bola itu kedalam ring nya. Ah, tawanya sungguh mempesona. Aku pun mencoba memvisualisasikan apa yang baru saja ku lihat di buku milikku. Di bagian bawah gambar tersebut, aku menuliskan sebuah kalimat.
‘tawamu adalah tawaku. Jadi, ku harap kau selalu tertawa untukku!’
Aku tersenyum melihat hasil karyaku, lalu kembali melihat lapangan basket. Aku hanya bisa tersenyum miris saat seorang gadis cantik berjalan dengan menghampirinya sambil membawa sehelai handuk dan juga sebotol minuman. Sedetik kemudian, aku melihat dia menolak handuk dan botol minuman tersebut lalu berjalan pergi bersama kawan-kawannya. Dalam hati aku tertawa melihat cewek itu.
“oy, Shania, ngeliatin doi lagi?” ucap salah sahabatku sambil menepuk bahu ku keras, membuat buku dan pensil yang ku pegang terjatuh begitu saja. Aku pun mendelik kea rah sahabatku itu, lalu mengambil buku serta pensilku.
“sekali aja, gk ngagetin. Bisa gk sih?” ucapku sedikit kesal akibat ulahnya. Dia hanya cengengesan.
“hehe maaf lah! Jangan melotot kek gitu. Mau keluar tuh mata!”
Aku hanya memutar kedua bola mataku. “ngapain kesini? Bukannya kamu lagi sama Rio?”
“doi lagi dipanggil sama bu Melody. Makanya aku nyamperin kamu!” ucapnya.
“elah ibu. Biasa juga kamu manggilnya kak Melody!” ejekku.
“yeee gini-gini seorang Nabilah Ratna Ayu bisa menempatkan diri! Karena lagi disekolah, ya panggilnya ibu” ucapnya sambil sedikit membusungkan badan.
“bunglon dong?” cetusku, membuat ia memajukan bibirnya. Aku hanya cengengesan.
“udah gk usah manyun-manyun. Mending kita ke kelas. Bentar lagi bel” ajakku sambil merangkulnya. Ia hanya mengangguk. Kami pun berjalan menuju kelas kami. Sepanjang koridor, kami terus mengobrol ini itu, hingga tak terasa kami sudah sampai di kelas. Di dalam kelas, mataku menangkap sesosok orang yang ku cintai. Ya, dia Agus. Ah, ingin rasanya aku memilikinya. Namun aku sadar, ada jarak yang begitu lebar yang memisahkan kami berdua. Jarak, yang membuat kami tidak akan bisa menyatu.
Saat berjalan menuju tempat dudukku, aku terus memperhatikanya, hingga sampai pada akhirnya ia melihat ke arahku. Pandangan kami berdua pun bertabrakan. Aku pun memberikan senyum terbaikku, yang menyebabkan lesung pipi terlihat di kedua pipiku dan mataku menyipit. Aku pun langsung mengalihkan pandanganku dan duduk di tempatku. Dari tempatku, aku dapat mendengar teman-temannya menggodanya.
“ah ciee, Nju, ekhem ekhem” ejek Nabilah, membuat kedua pipi ku memerah.
“ah, apasih Nab!” elakku, namun Nabilah terus menggodaku. Godaannya baru berhenti saat guru mata pelajaran memasuki kelas. Kami pun mendengarkan guru tersebut menerangkan materi tentang lingkungan social.
“baiklah. Bapak akan memberi tugas kelompok. Satu kelompok 2 orang. Cewek-cowok. Bapak akan memilih secara acak”
Mendengar itu, tanpa sadar hatiku berteriak agar aku sekelompok dengannya.
“kelompok 11, Nabilah Ratna dan Agrario Maulana. Kelompok 12, Shania Junianatha dan Agus Nugroho”
Kelompok selanjutnya sudah tak bisa ku dengar. Hatiku sudah terlalu bahagia mendengar bahwa aku sekelompok dengan pujaanku, sekelompok dengan pemuda yang aku cintai. Tanpa sadar, aku mengalihkan pandanganku kepadanya, yang ternyata ia juga sedang menatapku. Aku pun tersenyum. Hatiku bertambah senang ketika ia membalas senyumku.
“baiklah. Sekarang kalian bisa duduk dengan pasangan kelompok masing-masing untuk mendiskusikan tentang makalah yang akan kalian kerjakan”
Hatiku berdebar tak karuan saat melihar dia berjalan menuju bangkuku. Sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak keliatan salah tingkah di depannya.
“hai” sapanya.
“eh, hai”
Aku hanya bisa tersenyum kikuk. Ia pun duduk di bangku Nabilah. Nabilahnya sendiri sudah ngacir ke tempat duduk Rio. Kami pun mendiskusikan tempat mana yang akan kami kunjungi untuk pembuatan makalah. Berkali-kali, pendapat kami sama. Namun yang kami lakukan hanya saling melempar senyum lalu mencari tempat lain.
“eh, em, gimana kalo kita ke panti asuhan aja?” usulku.
“wah, boleh tuh! Kalo bisa panti asuhan yatim piatu” ucapnya menyetujui.
“heem. Kebetulan, aku tau panti asuhan yatim piatu!”
“yaudah. Kan tugasnya di kumpul minggu depan. Kita mulai riset nanti pulang sekolah gimana?” ajaknya.
“aku terserah aja. Eh, tapi kita naik apa kesananya?” tanyaku.
“kebetulan aku bawa motor. Nanti kita naik motor aku aja” ucapnya.
HUWAAAT!? Naik motor berdua sama Agus? Oh sungguh, ini jauh melebih harapanku. Aku hanya bisa mengiyakan ajakannya. Setelah bahasan itu, keadaan hening. Ia hanya diam sambil membaca komik yang ia bawa tadi. Sementara aku memperhatikannya dari samping. Sungguh, ia sangat tampan. Hidungnya mancung, matanya hitam, tatapannya yang tajam bagai elang namun menyejukkan, tulang pipi nya yang menonjol, ah sungguh. Ia bagaikan malaikat yang turun dari surga.
“kenapa ngeliatin aku? Ganteng ya?” ucapnya tiba-tiba.
“banget!!!” ceplosku. Sedetik kemudian, aku diam sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku yakin, pipiku sudah memerah saat ini.
“kamu juga cantik kok” pujinya.
Oh Tuhan. Jika ini film kartun, aku yakin mukaku sudah memerah seperti terbakar, setelah itu aku akan senyum-senyum sok imut. Tapi untungnya, ini dunia nyata, sehingga saat ini aku tidak akan seperti itu. Aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di balik kedua telapak tanganku.
“eh, em, aku minta nomor kamu, boleh?” tanyanya.
“eh, em boleh kok. Mana HP kamu?” ucapku. Ia pun memberikan ponselnya. Aku pun segera menuliskan nomor ponselku disana.
“nih, udah aku simpen. Namanya Shanju”
“makasih ya ” ucapnya sambil tersenyum begitu manis. Aaahhh, jika seperti ini terus, aku pasti akan terserang diabetes mendadak hanya karena melihat senyum milik Agus. Oke, mungkin menurut kalian ini lebay, tapi begitulah kenyataan.
“ah, i..iya!” jawabku. Hvft. Lidahku serasa kelu untuk menjawab pertanyaannya.
“ah, umm, yaudah aku ke balik ke tempatku ya” ucapnya saat guru sudah pergi. Jadilah, sisa jam pelajaran ku lalui dengan begitu semangat.
Akhirnya, saat yang ku tunggu tiba. Yap, bel pulang pun berbunyi. Aku pun segera membereskan peralatan sekolahku. Baru saja aku ingin berjalan menuju parkiran, Agus menghampiriku dan mengajakku pergi ke parkiran bersama. Tanpa ragu-ragu, aku menerima ajakannya. Sepanjang koridor menuju parkiran, kami mengobrol cukup banyak. Hingga tanpa sadar, kami sudah sampai di parkiran. Kami pun segera pergi menuju sebuah panti asuhan yang terletak di pinggiran Jakarta.
****
(AGUS P.O.V)
“KAK SHANJUUUUU!!!!”
Teriakan anak-anak kecil menyambut kami saat kami sampai di panti asuhan tersebut. Ku lirik gadis di sebelahku yang tersenyum begitu riang menyambut anak-anak yang berlarian menghampiri kami. Setelah memarkirkan motor, aku pun berjalan dengan tenang menghampirinya.
“haii!!!” sapaku pada anak-anak tersebut.
“hai juga kakak ganteng!!!” aku hanya cengengesan mendengar ucapan anak-anak itu.
“ah iya. Kenalin, ini kak Agus, teman sekolah kakak”
“hai kak Agus! Kakak cakep deh, cocok sama kak Shanju!” celetuk salah satu anak disana. Tanpa sadar, hatiku berbunga mendengarnya.
Benarkah aku cocok dengannya? Tapi kan, anak kecil tak mungkin berbohong. Hah, jika memang begitu, aku akan mencoba untuk mendekatinya. Dan ku harap, dia juga menyukaiku.
“hey, kok malah bengong! Ayo mulai risetnya!” ucapnya menyadarkanku tentang lamunanku mengenai dirinya. Akhirnya, kami pun memulai riset kami. Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kami duduk di taman belakang panti asuhan tersebut.
“Shan…” panggilku.
“ya?”
“ehm, mau pulang sekarang apa nanti?” tanyaku. Ia pun melirik jam di pergelangan tangan kirinya, lalu berdiri.
“sekarang aja deh. Nanti malem aku ada acara sama keluarga” ucapnya. Aku hanya mengangguk menyetujui. Akhirnya kami pulang.
“makasih ya udah nganterin” ucapnya saat aku mengantarkannya pulang.
“iya sama-sama. Yaudah masuk gih” ucapku. Ia hanya tersenyum lalu melangkah memasuki halaman rumahnya.
“ehm, Shania!” panggilku, membuat langkahnya terhenti.
“ada apa?”
“ehm, besok, mau berangkat bareng gk?” tawarku. Ku lihat ia berfikir, lalu mengangguk.
“boleh deh. Jam setengah 7 udah disini ya!”
Aku hanya mengangguk, lalu pulang. Sesampainya dirumah, aku langsung masuk ke kamarku. Setelah mandi dan berganti baju, aku pun merebahkan diri di kasurku. Sambil menatap langit-langit kamarku, aku membayangkan wajah Shania. Ah, membayangkan wajahnya saja sudah membuatku hampir gila seperti ini. Hvft. Iseng, aku mengirim sms ke dia.
To: Shanju
Malem
langsung istirahat ya, biar besok semangat
Kutunggu 15 menit, tak ada balasan. 20 menit, 25 menit, 30 menit, bahkan hingga 1 jam, tak ada balasan darinya. Hah, mungkin ia tak suka padaku. Hvft. Aku pun meletakan hp ku secara asal di sampingku, lalu memejamkan mataku. Baru saja memejamkan mata, HP ku bergetar. Dengan malas-malasan, aku mengambil HP ku.
From: Shanju
Iya, malem
maaf tadi abis belajar.
ini siapa?
Melihat nama pengirim sms tersebut, sontak rasa kantukku hilang. Aku pun segera merubah posisiku menjadi duduk. Dengan lincah, jari-jari tanganku menari-nari di atas keyword hp ku.
To: Shanju
Ini Agus
hehe
wah rajin ya, padahal baru pulang
Jadilah, malam itu aku ber sms ria dengan Shania. Pukul 9 malam, acara sms an kami berhenti karena ia ingin tidur. Sungguh, Shania selain pintar dan rajin, ia juga disiplin. Jaman sekarang, jarang aku melihat seorang cewek yang tertidur jam 9. Hah sudahlah. Aku pun memandangi foto-foto Shania yang ku ambil dari akun socmed nya. Berbagai ekspresi ada disana. Mulai dari ekspresi senang, sedih, marah, bahkan gesrek pun ada. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi-ekspresinya. Setelah puas memandangi foto Shania, aku pun memutuskan untuk tidur.
Esoknya, aku terbangun pukul 5 pagi. Setelah sholat shubuh, aku pun bersiap-siap untuk menjemput Shania ke sekolah. Jujur, selama 11 tahun aku bersekolah, baru kali ini aku sangat bersemangat untuk datang ke sekolah. Shania Junianatha. Nama itu terus terngiang di kepalaku. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, aku pun segera pergi menuju rumah Shania menggunakan motorku.
Sesampainya disana, ternyata Shania sudah menungguku di teras rumahnya. Ia pun segera menghampiriku.
“hey, maaf lama” ucapku sambil menyerahkan helm yang sengaja ku bawa dari rumah.
“iya, gapapa. Yaudah yuk berangkat”
Kami pun segera berangkat menuju sekolah. Entah hanya perasaanku saja, setelah kejadian kemarin kami berdua menjadi semakin dekat. Hal ini menyebabkanku semakin berniat untuk menyatakan cinta. Tapi, mengingat tugas yang semakin menumpuk, kuurungkan niatku karena tak ingin membagi fokusnya terhadap sekolah. Sebulan setelah kejadian di panti asuhan, hubunganku semakin dekat dengannya. Dimana ada dia, disitu ada aku. Bahkan, teman-teman kami mengira bahwa kami sudah berpacaran. Ckck.
Hari ini, aku berniat untuk menyatakan cinta kepadanya. Setelah menyiapkan semuanya, aku pun menghubungi Shania.
“hallo, Shan, bisa datang ke café pelangi gk?”
“ngapain?”
“dateng aja. Mau ya? Pleaseeee”
“iya iya. Aku otw nih”
“sip. Aku tunggu ya”
Aku pun mengakhiri hubungan via telpon tersebut. Aku pun pergi menuju tempat yang sudah ku rencanakan.
15 menit kemudian, dari tempat ku sekarang, aku melihat wajah Shania yang bingung saat memasuki café. Aku hanya tersenyum melihatnnya.
“Agus, kamu dimana? Gk lucu ah!” ucapnya. Aku pun member kode untuk menyalakan lampu sorot tepat ke arahku dan Shania.
“I will sing a song for a special woman in my heart. Shania Junianatha, this is for you” ucapku. Aku pun mulai memetik senar gitarku.
Look into my eyes – you will see
What you mean to me.
Search your heart, search your soul
And when you find me there you'll search no more.
Don't tell me it's not worth tryin' for.
You can't tell me it's not worth dyin' for.
You know it's true:
Everything I do, I do it for you.
Look into your heart – you will find
There's nothin' there to hide.
Take me as I am, take my life.
I would give it all, I would sacrifice.
Don't tell me it's not worth fightin' for
I can't help it, there's nothin' I want more
You know it's true:
Everything I do, I do it for you, oh, yeah.
There's no love like your love
And no other could give more love.
There's nowhere unless you're there
All the time, all the way, yeah.
Look into your heart, baby...
Oh, you can't tell me it's not worth tryin' for.
I can't help it, there's nothin' I want more.
Yeah, I would fight for you, I'd lie for you,
Walk the wire for you, yeah, I'd die for you.
You know it's true:
Everything I do, oh, I do it for you.
Everything I do, darling.
You will see it's true.
You will see it's true.
Yeah!
Search your heart and your soul
You can't tell it's not worth dying for
I'll be there
I'd walk the fire for you
I'd die for you
Oh, yeah.
I'm going all the time, all the way.
(Bryan Adams – Everything I do, I do it for you)
Selesai menyanyikan lagu tersebut, aku meletakkan gitarku, lalu mengambil sebuket bunga mawar putih dan berjalan menghampiri Shania yang terdiam mematung di tempatnya berdiri.
“Shan, jujur, dari awal kita sekelas, aku udah suka sama kamu. Aku mau ngedeketin kamu, tapi aku takut. Tapi, setelah sebulan ini kita dekat, aku yakin. Aku yakin dengan semua ini. So, Shania Junianatha, would you be a part of my life? Fill the part of my heart?” ucapku. Shania hanya diam sambil memandangku. Pandangannya seolah menyiratkan…. Bahwa ia tak bisa! Ah, jujur hatiku ketar ketir menunggu jawabannya.
“aku…aku gk bisa. Maaf” ucapnya lalu berlari meninggalkanku yang hanya bisa mematung menatap kepergiannya.
*****
(Shania P.O.V)
Aku gk tau harus apa. Jujur, aku seneng saat tau perasaan ku ke Agus gk bertepuk sebelah tangan. Tapi, aku gk bisa. Aku dan Agus gk bisa bersatu. Gk akan pernah bisa. Dari awal kedekatanku dengan Agus, aku udah takut kalau ini semua bakal terjadi. Dan ternyata, ketakutanku menjadi kenyataan. Aku udah gk tau harus kayak gimana ke dia besok. Menjauh? Mungkin itu yang bisa ku lakukan.
Saat ini, aku hanya bisa menangis di kamarku. Menangis karena Agus mencintai ku. Menangis karena semua ini. Menangis karena aku dan Agus tak bisa bersatu. Jarak di antara kami terlalu jauh untuk kami lompati. Aku tak mau terjatuh ke dalam lubang yang ada akibat jarak tersebut. Tidak! Aku tidak akan terjatuh kesana. Aku akan menjauhi Agus. Walau berat. Karena lelah, aku pun memutuskan untuk tidur.
Esoknya, aku terbangun pukul 5. Aku pun segera bersiap-siap pergi ke sekolah. Setelah siap semua, aku pun sarapan.
TIN..TIN
Suara klakson terdengar dari luar rumah ku. Itu pasti Agus! Aku pun berpesan ke bi Inah untuk mengatakan bahwa aku sudah berangkat. Tak berapa lama, bi Inah kembali. Hvft, untunglah Agus pergi. Kalau tidak, aku tidak tau harus beralasan apa. Setelah selesai sarapan, aku berangkat diantar supir.
Sesampainya di sekolah, aku duduk di taman. Rutinitasku setiap pagi sebelum dekat dengan Agus. Ngomong-ngomong soal Agus, bagaimana keadaan dia setelah semalam ya? Hmmm. Sudahlah, aku tak mau memikirkannya. Aku pun mengambil buku ku dari dalam tas. Buku yang berisikan sketsa gambar sosok yang menguasai hatiku. Siapa lagi kalau bukan Agus Nugroho. Hah, mengingat namanya saja sudah membuat dadaku sakit.
Aku pun melihat gambaran-gambaranku. Aku tersenyum kecil melihat tulisan-tulisan kecilku di sudut bawah gambaran tersebut.
“aku tau kamu pasti disini”
Sebuah suara yang amat ku kenal terdengar dari arah belakang. Aku pun segera menoleh, dan mendapati Agus sedang berdiri dengan kedua tangan yang ia masukan ke dalam saku celana.
“aku tau kamu juga suka sama aku. Tapi kenapa kamu nolak aku semalem?” tanyanya. Aku hanya diam.
“kenapa? Apa ada cowok lain?” tanyanya lagi.
“ada atau gknya cowok lain, kita tetap gk akan bisa bersatu” ucapku dengan suara bergetar lalu berlari meninggalkannya seorang diri.
Tujuanku sekarang adalah toilet. Sesampainya disana, aku menumpahkan air mataku. Sekuat mungkin aku menahan air mataku, namun air mata itu terus saja keluar. 15 menit kemudian, tangisanku mereda. Setelah membasuh wajahku, aku pun melirik jam tanganku. Beruntung, bel masuk belum berbunyi. Aku pun segera beranjak menuju kelas.
Di kelas, sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak melihat kea rah Agus. Aku pun mensiasatinya dengan bercanda dengan teman-temanku.
“oy Shan. Kamu kemaren nolak agus? Bukannya kamu suka sama dia?” Tanya Nabilah.
“aku emang suka sama dia. Tapi kita gk akan bisa sama-sama” ucapku sambil menunduk.
Nabilah hanya mengerutkan keningnya, “kenapa?”
“jarak di antara kami begitu besar Nab. Kamu pasti tau apa itu”
Nabilah hanya bisa diam sambil berfikir. Sesaat kemudian, ia tersentak kaget.
“ya ampun! Kok aku baru nyadar ya?!”
Aku hanya tersenyum tipis, “agama kami berbeda Nab. Aku kristiani, dia Islam. Kami gk mungkin bisa bersatu. Aku tau, dia pemegang teguh agamanya. Begitu juga aku yang memegang teguh agamaku. Aku, ataupun dia, gk mungkin bisa keluar dari jalan kami, dan masuk ke dalam lubang yang semua orang pun gk ingin masuk ke dalamnya!” aku menghentikan ucapanku sejenak, “aku gk mau kalau nantinya aku sama Agus berhubungan, hal ini malah ngebawa kami keluar dari jalur agama kami. Aku lebih memilih berteman dengan dia dan memendam perasaan aku, daripada semua hal itu terjadi”
Nabilah menepuk bahuku pelan, “sabar ya Shan. Aku yakin kok kamu pasti dapet pengganti Agus”
Aku hanya tersenyum, “abis ulangan tengah semester aku pindah”
Nabilah terbelalak, “pindah? Kemana!?”
“amerika. Ngikut orang tua. Dan aku harap, dengan pindahnya aku, aku bisa menghilangkan perasaan aku ke dia. Begitu juga sebaliknya”
Nabilah hanya tersenyum, “lakuin yang menurut kamu bener. Aku akan dukung apa yang kamu lakukan”
Kami saling melempar senyum lalu berpelukan. Setelah itu, kami mengganti topic seputar mid test yang akan di lakukan seminggu kemudian. Seminggu sebelum mid test, Agus mencoba mendekatiku. Namun aku slalu menghindar darinya.
Akhirnya, mid test pun tiba. Aku berusaha memfokuskan diriku ke mid test kali ini. Untungnya berhasil. Seminggu ini, aku tidak memikirkan Agus. Agus pun tak menghubungiku. Namun itu tak masalah. Aku malah beruntung ia tak menghubungiku.
Selesai ulangan hari terakhir, aku menghubungi Agus dan memintanya untuk menemuiku di taman. Aku menunggunya dengan perasaan berdebar, karena ini kali pertama aku berbicara langsung dengannya dalam 2 minggu terakhir.
“hai, Shania” sapa Agus yang berdiri di depanku. Aku hanya terpaku menatapnya. 2 minggu tak bertatap muka secara intens, dia banyak berubah. Jika dulu rambutnya selalu rapih, kali ini ia mengubah gaya rambutnya menjadi terlihat….keren.
“hai”
“ada apa?” tanyanya sambil duduk di sebelahku.
“aku akan pindah” ucapku sambil menunduk. Namun dari ekor mataku, aku melihat raut wajahnya terkejut, “maaf karena aku menolak cintamu. Jujur aku juga suka padamu. Namun, perbedaan di antara kita membuat kita tak bisa bersatu”
“perbedaan? Kenapa dengan perbedaan? Bukankah perbedaan membuat semuanya menjadi indah?”
Aku menggelengkan kepalaku, “perbedaan ini, terlalu besar. Kita berbeda, Agus. Kau orang islam, aku orang Kristen. Kau pasti paham maksudku”
Agus hanya terdiam, aku pun sama.
“maaf, 2 minggu ini menjauhimu. Ini, aku ada sesuatu untukmu. Kau buka saja di rumah ya. Aku mencintaimu” ucapku lalu berlari meninggalkannya. Meninggalkan kenanganku dengannya. Meninggalkan semua kisahku dengannya.
Mungkin, inilah akhir kisah kami. Kisah kami, yang tak mungkin bisa bersatu. Aku cukup sadar dengan perbedaan diantara kami. Perbedaan yang tak mungkin bisa di rubah. Perbedaan yang membuat kami tak bisa bersatu. Mungkin, inilah yang harus aku lakukan. Meninggalkannya, agar hal terburuk tak terjadi. Ku harap, dia dapat melupakanku dan mendapat penggantiku. Yang seiman tentunya. Dan aku harap, kisah kami selalu ia kenang sebagai salah satu memori masa SMA nya.
FIN.
regards, ermalda_EULG

Final Destination

Final Destination.

Taman hiburan. Huh, jujur saja aku tak begitu menyukai taman hiburan. Entah kenapa, aku juga bingung. Jujur saja, aku sedikit tidak suka dengan keramaian. Aku lebih menyukai tempat yang sepi, tenang, dan semacamnya dikarenakan keterbatasanku. Ya, aku tidak seperti gadis-gadis remaja lainnya. Aku memiliki keterbatasan mental. Namun, hal ini tidak mengurangi kecerdasan inteligensi ku. Aku tetap bersekolah seperti gadis lainnya. Jika tidak mengingat ajakan sahabat-sahabatku, mungkin aku lebih memilih tidur dirumah. Hvft. Aku terus mengikuti kemana arah langkah kaki mereka. Kedua tangan ku, aku masukan ke dalam saku jaketku. Entah kenapa, aku merasa sesuatu yang aneh. Entah apa itu. Seperti… ada yang janggal.

“oy, Viny! Ayo sini photo!” ajak salah satu sahabatku, Tata Margareth.
“gak deh. Kalian aja!” tolakku halus.
“ah, gk asik nih lo! Ini kan, kamera punya lo! Masa lo nya gk ikut photo-photo!” bujuk sahabatku yang lain, Naomi Isabella.
“udah udah. Kalo emang Viny nya gk mau, yaudah biarin aja. Nanti juga kalo dia mau, dia nimbrung. Iya kan, Viny?”

Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataan sahabatku yang lain. Noella Kartika. Ah, dia memang yang
paling pengertian diantara sahabat-sahabatku yang lain.

“eh, Rona mana?” tanyaku yang tak melihat salah satu sahabatku, Rona Damayanti.
“apaan nyariin gue? Kangen?”

Aku pun menoleh, dan mendapatinya sedang berdiri sambil memegang segelas pop-ice. Aku pun memutar
bola mataku.

“wess kampret!! Beli minum gk ngajak-ngajak!” ucap Tata sambil merebut gelas pop-ice tersebut dan meminumnya. Naomi dan Noella ikut-ikutan.
“eh eh punya gue! Elah lo semua kalo mau beli dong!” protes Rona sambil berusaha merebut pop ice nya kembali. Namun, usahanya sia-sia karena isi di dalam gelas tersebut sudah habis oleh Tata, Noella, dan Naomi. Rona pun menggerutu tidak jelas. Sementara aku hanya terkikik geli melihat tingkah teman-temanku.

WUSHHHH

Tiba-tiba saja berhembus angin yang sangat dingin, membuatku terkesiap kaget. Hembusan angin tersebut mampu membuat bulu kudukku meremang. Oh Tuhan, ada apa ini? Aku pun berusaha mengusir pemikiran-pemikiran burukku. Kami segera melanjutkan perjalanan menuju wahana berikutnya. Entah aku yang memang tidak suka ber foto, atau memang teman-temanku maniak photo, sedari tadi kami selalu saja berfoto. Tak terasa, jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Kami pun pulang menggunakan mobil yang dikendarai oleh Naomi. Berhubung rumahku dekat, aku diantar lebih dulu olehnya.

“Vin, photonya di pindahin ke flashdisk gue ya. Biar bisa gue cetak. Nih flashdisknya” ucap Naomi sambil menyerahkan sebuah flashdisk.
“iya. Tapi paling aku mindahinnya besok, soalnya kalo sekarang aku udah ngantuk” jawabku.
“iya gak papa. Yaudah kita cabut ya? Bye Viny!” ucap Naomi lalu menjalankan mobilnya. Aku sendiri baru masuk saat mobil yang Naomi kendarai sudah menghilang.

sepi. Selalu seperti ini. Kedua orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hvft. Sebelum masuk, aku memandangi pintu kamarku. Pintu yang terdapat banyak tulisan larangan untuk masuk. Namun, di pintu tersebut juga tergantung sebuah papan bertuliskan ‘Watch Out! Viny Anugerah Putri’s room! Do not enter without permition!’. Papan yang kubuat saat aku menjejaki bangku kelas 3 SMP. Aku hanya tersenyum tipis mengingatnya lalu membuka pintu dan berjalan masuk. Setelah menutup pintu, aku membuka sepatu dan jaketku, lalu rebahan di atas kasur dan tertidur.

Esoknya, aku bangun pukul 08.00. hvft, untung saja hari ini libur kuliah. Jadi aku tidak perlu panic sambil teriak ‘aaaaaa telat!!!!!!’. Lebay. Aku tidak suka yang seperti itu. Aku pun bangkit dari kasurku dan berjalan menuju kamar mandi. Pukul 9 pagi, aku sudah siap kembali untuk menjalani hari.

Aku pun berjalan menuju komputerku. Tak lupa aku membawa kamera dan juga flashdisk milik Naomi. Setelah menyambungkan kamera dan komputerku dengan USB, aku pun melihat-lihat hasil jepretan yang diambil oleh teman-temanku. Namun, ada beberapa foto yang aneh. Contohnya saja di foto saat aku dan teman-temanku berfoto di depan taman hiburan. Entah kenapa, wajah Tata menjadi blur. Padahal, wajah yang lain normal-normal saja. Lalu foto-foto pribadi, salah satunya adalah fotoku yang sedang berdiri bersama Noella di depan sebuah mobil tua. Ah, ini kan saat aku dan Noella melihat sebuah mobil tua yang di pertontonkan. Huh, ini pasti ulah iseng Rona. Karena, kalau Tata ataupun Naomi, mereka bukan termasuk tipikal orang yang jahil seperti Rona.

Setelah memindahkan foto-foto tersebut ke flashdisk Naomi, aku pun mematikan computer. Setelah itu, aku mengambil jaket serta kunci mobilku, lalu pergi ke rumah Naomi. Sesampainya di rumah Naomi, ternyata teman-temanku yang lain tengah berkumpul.

“oy, Viny!” sapa Tata. Aku hanya mengulum senyum sambil berjalan menghampiri mereka yang mengobrol di ruang tengah.
“nih, semuanya udah aku pindahin” ucapku sambil menyerahkan flashdisk milik Naomi.
“sip, thanks ya!” ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu duduk disebelah Naomi.

Mereka pun melanjutkan obrolan. Sementara aku hanya diam sambil memperhatikan mereka. Entah hanya perasaanku saja atau memang terjadi, aku merasa ada yang memperhatikan kami. Aku tidak tau darimana ‘sesuatu’ itu memperhatikan kami, karena aku sendiri tidak mencari taunya. Aku terus memperhatikan mereka. Sesekali aku terkekeh pelan melihat perdebatan tak penting yang mereka lakukan.

“oyy gue balik dulu ya!” ucap Tata sambil bangkit dari duduknya.
“elah, baru juga jam 11! Biasanya, lu ampe malem disini!” ucap Rona.

Tata hanya cengengesan, lalu ngeloyor pergi. Tiba-tiba otakku tertuju pada foto-foto yang kulihat tadi. Seketika itu juga, perasaanku menjadi tidak enak. Hal ini membuatku gelisah. Bagaimana jika foto tadi adalah sebuah pertanda? Bagaimana jika pertanda yang dimaksud adalah pertanda yang buruk? Sungguh. Aku tidak bisa memfungsikan kinerja otakku dengan baik saat ini.

“OY VINY!”

Teriakan Rona membuatku tersentak kaget, dan hanya mempu mengucapkan “HAH!?”

“lo kenapa? Gelisah amat Tata pergi” Tanya Naomi. Aku tak menjawab dan terus melihat keluar.
“elah, lo kenapa sih?” Tanya Rona.
“Tata.. Tata.. Tata..” entahlah. Aku tak dapat mengeluarkan kata lain selain nama Tata. Perasaanku pun tak karuan.
“udah udah, mending sekarang kamu tenangin diri dulu. Nih, minum dulu” ucap Noella sambil menyerahkan segelas air, yang langsung ku tenggak hingga habis.
“nah, jelasin deh”
“Tata.. feeling aku gk enak tentang dia”

DUAAAAAARRRRR

Tepat setelah aku berkata demikian, suara ledakan terdengar begitu keras. Kami pun saling berpandingan, lalu berlari keluar rumah. Dari luar gerbang Naomi, kami dapat melihat puing-puing bekas ledakan, yang kami yakini ledakan tersebut berasal dari mobil, karena salah satu potongannya terlihat jelas. Di potongan tersebut juga menempel sebuah plat bernomor B 1208 TA. Plat yang kami kenali. Plat mobil…… milik Tata! Seketika itu juga tubuhku lemas. Beruntung Rona menopangku. Sementara Naomi menangis di pelukan Noella. Jujur, aku tak menyangka segala firasatku tentang foto, tentang Tata, akan menjadi kenyataan. Namun, aku tak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi.

Dari warga setempat, kami mengetahui penyebab meledaknya mobil Tata adalah tabrakan yang dialami sebelumnya. Saat hendak keluar kompleks, tiba-tiba saja melaju sebuah van yang langsung menabrak mobil sedan milik Tata, menyebabkan mobil tersebut terdorong dan berhenti setelah terguling. Tangki bensinnya mengalami kebocoran, lalu terjadi konslet yang menyebabkan munculnya percikan api yang langsung mengenai tumpahan bensin. Oleh sebab itu ledakan terjadi.

Kami ber-4 pun menenangkan diri di rumah Naomi. Wajah kami semua diliputi perasaan sedih, duka, takut, kehilangan. Tak ada yang berbicara. Sedari tadi kami hanya diam. Aku memandang teman-temanku yang menunduk dengan tatapan kosong. Kedua tanganku gemetar dan dingin. Wajahku pucat. Keringat dingin mengalir keluar dari pelipisku. Kepalaku pun terasa berat, hingga semakinlama pandanganku mengabur. Lalu semuanya gelap.

Saat tersadar, aku sudah berada di kamar Naomi dengan dikelilingi oleh 3 sahabatku yang lain. Aku mengerang pelan sambil memegangi kepalaku. Uhh, aku benci ini. Diantara kami semua, memang aku yang memiliki fisik paling lemah.

“udah udah, mending lo tiduran aja. Badan lo masih lemes” ucap Naomi menahanku yang ingin berdiri.
“foto.. taman hiburan..” ucapku sambil terus memijat keningku untuk menghilangkan rasa sakit yang menyerang kepalaku. Entah kenapa, jika seperti ini ucapanku kadang tak jelas.
“foto? Taman hiburan? Maksud lo, foto waktu kita di taman hiburan kemarin?” Tanya Rona memastikan. Aku hanya bisa mengangguk. Naomi pun segera mengambil laptop beserta flashdisknya yang ia letakkan di atas meja belajar, lalu memberikannya padaku. Aku pun segera menyalakan laptop milik Naomi untuk melihat foto-foto yang ku lihat tadi pagi.
“di foto ini. Blur. Wajah Tata. Yang lain enggak” ucapku tak jelas, membuat yang lain mengernyit bingung. Mereka pun memperhatikan foto tersebut.
“maksud kamu, difoto ini wajah Tata nge blur, tapi yang lain enggak. Gitu?” ucap Noella. Aku kembali mengangguk. Mereka pun kembali melihat foto tersebut.
“ah iya. Muka Tata agak ngeblur gitu, kalo dibandingin sama yang lain!” ucap Rona yang pertama kalli menyadari.
“ah iya bener!” timpal Naomi.
“gk tau kenapa. Foto ini. Perasaan Aku. Trus Tata. Ada yang merhatiin” ucapku lagi-lagi tak jelas. Kali ini sahabat-sahabatku hanya bengong.
“yaudah yaudah. Mending lo istirahat aja dulu. Ntar kalo udah enakan, baru nge jelasin!” ucap Naomi sambil mengambil laptopnya.
“laptop. Jangan. Foto. Aku mau liat” Naomi hanya mengangguk lalu meletakan laptop nya di sebelahku. Setelah itu, ia bersama Rona dan Noella berjalan keluar, meninggalkan aku sendiri di kamar ini. Aku pun mengalihkan pandanganku kea rah laptop milik Naomi yang masih menunjukan foto kami. Aku pun terkejut saat perlahan gambar Tata di foto tersebut menghilang. tanpa sadar, aku beringsut mundur hingga terjatuh dari kasur. Apakah itu sungguhan? Ya! Itu sungguhan dan terjadi tepat di depan mataku! Oh sungguh, aku benci hal ini.

Tiba-tiba saja, muncul sesosok makhluk berbaju hitam dan berbadan besar. Rambutnya berantakan, wajahnya menyeramkan dengan luka disana-sini. Sungguh, aku takut melihat makhluk tersebut. Ingin rasanya aku berlari, namun seluruh tubuhku terasa sangat lemas hingga sulit di gerakkan. Tiba-tiba berhembus angin yang kencang sehingga menutup jendela kamar Naomi, dan juga menerbangkan benda-benda yang ada di atas meja.

“kalian akan mati!!!” ucap sosok tersebut dengan suara yang keras. Aku hanya bisa diam. Tiba-tiba saja sesuatu menarikku hingga menabrak pintu.

BRAKKKKK

Aku hanya bisa terduduk di dekat pintu sambil menahan rasa sakit di kepala dan punggung ku. Susah payah, tanganku bergerak menggapai handle pintu. Namun, belum sampai tanganku pada handle pintu, sosok tersebut bergerak cepat ke arahku dan mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat, membuatku menjerit tertahan. Lalu, dengan kuku-kukunya yang tajam, makhluk tersebut berniat menikamku, dan….

“AAAAAAAAAAAAAAAAAA”

DEGGG

Aku terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhku. Aku mengedarkan pandanganku. Ah, ternyata masih di kamar Naomi. Di sebelahku, Naomi terduduk. Wajahnya menyiratkan ke cemasan.

BRAKKKK

“kenapa kenapa?” Rona dan Naomi tiba-tiba masuk sambil mendobrak pintu. Dibelakangnya terdapat Noella. Wajah mereka tak jauh beda dengan Naomi.

Tunggu dulu, jadi semua itu hanya mimpi? Sungguh, mimpi tersebut seperti kenyataan! Aku seperti mengalami langsung hal tersebut. Aku pun melihat pergelangan tangan kiri ku. Membiru! Jadi, itu semua kenyataan?

“Vin, lo gk papa kan?” Tanya Rona cemas. Aku pun mengalihkan pandanganku ke Rona, lalu perlahan menggeleng.
“tadi kita nemuin lo pingsan di depan pintu. Wajah lo juga pucet banget, badan lo panas banget. Lo kenapa?” Tanya Naomi.
“foto. Foto tadi. Tata hilang!” bukannya menjawab pertanyaan Rona dan Naomi, aku malah melontarkan pernyataan aneh. Naomi pun segera memberikan laptopnya. Aku pun langsung menunjukan foto dimana gambar Tata menghilang.
“eh? Itu Tata nya kok gk ada?” ucap Noella bingung.

Aku tak menjawab, tapi terus memperhatikan foto tersebut. Aku pun terbelalak saat melihat kalau kali ini wajah Rona yang tiba-tiba menjadi blur. Jujur, aku tak mengerti dengan semua ini. Dan kenapa harus aku yang mengalami hal ini? Kenapa tidak Naomi yang pemberani? Atau Noella yang selalu tenang dalam keadaan apapun? Kenapa harus aku yang memiliki keterbatasan ini? Oh sungguh aku sangat sangat sangat benci hal ini. Aku tidak suka berada dalam ketegangan, aku tidak suka berada dalam tekanan, aku tidak suka berada dalam ketakutan. Aku tidak suka, karena itu hanya akan menghambat pola kerja otakku.

“udah udah, kita bahas besok aja. Kasian Viny nya. Dia perlu istirahat” ucap Noella sambil melihatku. Aku pun menatap Noella balik.
“iya iya. Yaudah, lo istirahat ya. Kita balik ke kamar dulu” ucap Rona.
“kalian nginep?” tanyaku.
Noella mengangguk, “iya. Kita tidur di kamar tamu. Yaudah lo istirahat deh” Noella dan Rona pun menghilang di pintu.
“udah lo tidur. Biar besok enakkan” Naomi berucap sambil mematikan laptopnya dan meletakannya di meja yang ada di samping tempat tidur. Aku pun menuruti ucapan Naomi dan mulai merebahkan tubuhku lalu memejamkan mataku. Tak lama aku tertidur.

**

Esoknya, aku terbangun dengan tubuh lebih segar. Walau tak dapat di pungkiri bahwa fikiranku masih kacau. Hvft. Jika sudah seperti ini, siap-siap saja aku menjadi orang bodoh. Beruntung, saat ini sedang liburan sekolah. Sehingga tidak akan ada yang mengejekku. Hari ini aku bersama sahabat-sahabatku berniat untuk menghadiri acara pemakaman Tata. Jika boleh, aku tidak ingin datang ke pemakaman Tata, karena hal itu akan membuat tubuhku kembali drop. Tapi karena bujukkan teman-temanku, aku pun datang.

Di pemakaman, aku melihat banyak keluarga Tata yang memang sudah kenal dengan aku dan sahabat-sahabatku karena memang kami sudah seperti keluarga. Orang tua ku juga terlihat ada disana. Aku pun segera menghampiri kedua orang tua ku dan memeluk mereka. Orang tua ku pun segera menenangkanku.

“udah gk usah difikirin. Nanti tubuh kamu drop. Tata juga pasti gk mau kalo tubuh kamu drop” hibur ibuku. Aku hanya mengangguk dipelukkan ibuku.
“ayo dong senyum. Masa anak ayah sedih terus” ucap ayahku. Aku pun melepas pelukan ibuku dan tersenyum kecil.
“yah, bund, aku ke tempat Naomi dan yang lain ya” ucap ku lalu segera kembali ketempat Naomi dan yang lainnya. Acara pemakaman berlangsung cepat. selepas acara pemakaman, aku dan yang lain pergi ke café dimana kami biasa berkumpul. Kami duduk di pojok café, dimana disana terdapat 2 buah sofa berukuran sedang. Ditengah-tengah sofa tersebut terdapat meja kecil.

Keadaan hening. Tak ada yang memulai pembicaraan. Kami semua sibuk dengan fikiran masing-masing, ah bukan kami. Tapi sahabat-sahabatku. Karena jujur, aku tak tau apa yang sedang ku fikirkan. Aku hanya bisa diam sambil memainkan gadget ku untuk mengusir fikiran-fikiran buruk, dan juga kejadian yang seperti mimpi itu.

“Viny..” panggil Noella. Aku pun menoleh kepadanya, seolah berkata-apa?-
“kemarin.. kenapa kamu bisa…”
“aku gk tau” ucapku memotong perkataan Noella, lalu kembali focus ke gadget ku.
“tapi kemarin….”
“aku gk tau. Pas Tata pergi, tiba-tiba aja aku ngerasa bakal terjadi sesuatu. Terlebih soal wajah Tata yang tiba-tiba ngeblur. Semua itu terjadi tiba-tiba. Aku juga gk tau kalo feeling aku itu bakal terjadi kenyataan” ucapku sambil terus memainkan gadgetku, sehingga aku tidak dapat melihat ekspresi sahabat-sahabatku.
“trus, yang kata lo ada yang merhatiin Tata?” Tanya Naomi.
“oh, kemarin pas kita ngobrol-ngobrol aku ngerasa ada yang merhatiin kita. Dan ternyata emang bener. Ada yang merhatiin kita. Sekarang aja dia lagi merhatiin kita” ucapku tanpa sadar.
“HAH?”

Aku tak memperdulikan mereka, dan terus memainkan gadgetku.

“Viny..!!!”
Aku kembali mengalihkan pandanganku. “apa?”
“maksud lo tadi apa? Ada yang merhatiin kita?” Tanya Rona.
“merhatiin?” tanyaku bingung.
“tadi kamu bilang ada yang merhatiin kita!” ucap Noella tak sabar.
“apaan? Kapan aku bilangnya? Orang daritadi kalian diem aja. Aku juga daritadi main ini!” ucapku sambil menunjukan layar gadget ku yang menunjukan sebuah permainan.
“tadi tuh lo ngomong kalo ada yang merhatiin kita, Viny!” ucap Rona dengan nada kesal. Membuatku sedikit tersentak. Baru kali ini Rona berbicara dengan nada seperti itu.
“aku gk tau. Yang aku tau, sedari tadi kita Cuma diam, dan aku Cuma main gadget. Udah itu aja” ucapku dengan nada pelan. Rona seperti tersadar akan nada ucapannya tadi.
“Udah udah. Maafin Rona karena udah ngomong kayak gitu. Iya, kita daritadi Cuma diam” ucap Naomi.
“iya maafin gue. Udah gk usah difikirin. Anggap aja tadi kita lagi gesrek otaknya” ucap Rona asal.
“yeee kalo gesrek mah, otak kamu kan emang udah gesrek!” ejek Noella mencoba mencairkan suasana.
“yee kek lu gk gesrek aje!” ucap Rona tak terima. Noella dan Naomi tertawa melihat Rona, sementara aku hanya tersenyum tipis.
“eh pesen makan kek. Garing amat keknya nih meja!” ucap Naomi sambil memanggil pelayan.
“kayak biasa ya mba?” ucap pelayan tersebut yang memang sudah hafal dengan kami.
“iya mba. Tapi, pasta sama hot chocolate nya gk ya mba” ucap Noella.
“oke mba. Ditunggu ya” ucap pelayan tersebut lalu pergi. Kami pun melanjutkan obrolan kami. Namun, entah kenapa sedari tadi perasaanku tak enak. Perasaan ini, sama seperti aku mendapat feeling tentang Tata.

Namun, kali ini aku tidak segelisah kemarin. Tapi tetap saja, perasaan ini semakin menguat. Hvft.
Tak berapa lama, pesanan kami datang. Kami pun menyantap pesanan kami diselingi bercanda. Sesekali, aku tertawa kecil melihat ulah jahil Rona terhadap Naomi dan juga Noella yang membuat mereka berdua menyerang Rona.

“HEY HENTIKAN TRUK TERSEBUT!!!”
“TRUK TERSEBUT TAK ADA PENGEMUDI!!”
“YANG DISANA MINGGIR!!!!”
“SEMUANYA MENJAUHHH DARI SINI!!!!!”

Teriakan-teriakan heboh tersebut membuat kami menghentikan aktivitas kami. Kami pun menoleh kearah luar, dan mendapati sebuah truk tanpa pengemudi melaju dengan kencang kea rah kami.

PRANGGGGG

“VINYYYY!!!!”

“NOELLA!!!!!”

“RONAAAAA!!!!!!”

Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa kami sadari. Aku sendiri tak tau apa yang terjadi, karena saat truk tersebut menabrak tembok yang berada di dekat kami, Noella langsung menerjang tubuh mungilku agar aku tak kenapa-kenapa. Aku membuka kedua mataku yang sedari tadi terpejam, karena wajahku serasa terkena sesuatu. Aku pun memegang wajahku, dan mendapati cairan merah dan kental di jari-jariku. Tunggu dulu. Ini kan….darah!! tapi, darah siapa? Naomi, atau Rona?

“da..darah si..a..pa?” tanyaku terbata.
“udah ya, lo gk usah liat. Lo cukup liat gue oke?” ucap Naomi mencegah ku untuk melihat yang terjadi. Aku pun bangkit dari posisiku yang sebelumnya berbaring di lantai.
“tapi ini darah si.. astaga Rona!!! Rona mana?” tanyaku sambil mencari sosok Rona.
“hey hey, udah gk usah liat. Kamu cukup diam disini, oke?” Noella membantu Naomi untuk mencegahku melihat semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana keadaan Rona? Darah ini… apakah darah Rona?
“tapi aku mau cari Rona!!” aku terus memberontak.
“jangan Vin, udah lo disini aja”
“emang kenapa sih? Rona baik ba—“ ucapanku terhenti saat mampu melihat semuanya. Di depan mataku, tubuh Rona sudah…ah tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Sungguh, aku sudah tak bisa mengenalinya. Tubuhnya….sudah hancur! Sungguh, ini membuatku mual. Kakiku serasa lemas tk bertulang. Tubuhku sudah seperti tak bernyawa. Beruntung, Naomi segera menarikku dari pemandangan menjijikan itu.
“hey, lihat gue. Semua akan baik-baik aja. Gk usah lo fikirin semua ini, okey?” Naomi memegang kedua pipiku agar pandanganku tertuju kepadanya. Aku hanya diam sambil meremas kedua tanganku yang dingin.

Oh, aku benci jika seperti ini. Sebisa mungkin, aku mempertahankan kesadaranku. Tak berapa lama, polisi dan tim medis datang. Aku, Naomi, dan Noella pun langsung mendapat perawatan dari tim medis. Naomi dan Noella hanya mendapat perawatan kecil, sementara aku diberikan alat bantu oksigen karena memang nafasku serasa putus-putus.

Setelah melakukan perawatan, polisi pun menanyai beberapa pertanyaan kepadaku. Namun, aku hanya diam sambil menatap kosong tanganku yang terus saja mengeluarkan keringat dingin. Suara-suara dari 2 orang polisi di depanku sama sekali tak masuk ke telingaku.

“hey nak! Kau mendengarkan kami atau tidak!?” ucap polisi itu sambil menepuk pundakku, membuatku kaget dan menatap kedua polisi itu dengan tatapan kosong.
“pak, bisakah bapak berbicara pelan sedikit kepada teman saya? Dia pasti mengalami shock setelah teman baiknya tewas dengan cara seperti itu! Mohon mengertilah! Lagipula aku dan temanku ini sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalian berikan! Apa itu kurang? Kalau iya bapak bisa bertanya kepada kami berdua!” Noella yang tiba-tiba datang bersama Naomi menyelamatkanku dari kedua polisi tersebut. Setelah perbincangan singkat, kedua polisi itu pun pergi menjauhi kami.
“lo gk papa kan?” Tanya Naomi. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“yaudah mending sekarang kita pulang. Aku sama Naomi nginep dirumah kamu” ucap Noella sambil membantuku berjalan.

Kami pun pergi ke rumahku. Sesampainya di rumahku, kami bertiga masuk kedalam kamarku. Sementara Noella dan Naomi merebahkan tubuh mereka, aku berjalan menuju komputerku untuk melihat foto-foto di taman hiburan. Aku menelisik semua foto, mulai dari foto kami bersama-sama ataupun foto kami seorang diri. Saat di foto Tata, aku memperhatikan foto tersebut dengan seksama. Di foto tersebut Tata berdiri di depan sebuah stand. Namun, foto tersebut terlalu cerah membuat foto tersebut seperti terbakar. Lalu aku pun beralih ke foto Rona, dimana difoto tersebut Rona berdiri di depan pintu masuk. Aku kembali memperhatikan foto tersebut dengan seksama, lalu tersentak kaget saat melihat jauh di belakang Rona ada sebuah truk.

Melihat hal itu, aku menganalisis semua kejadian ini. Tata tewas karena mobilnya meledak dan terbakar, sementara di foto tubuh Tata seperti terbakar. Sementara Rona tewas karena tertabrak Truk, dan di belakangnya terdapat truk. Ah, jangan-jangan foto-foto ini menunjukan cara kematian mereka? Oh god! Aku pun kembali melihat foto dimana kami ber5 ada disana. Dugaanku benar. Gambar Rona menghilang, lalu bagian blur tersebut pindah ke orang di sebelahnya. Dan orang itu adalah…..Naomi! aku pun mulai mencari foto Naomi, namun tak kudapatkan foto Naomi seorang diri. Dia selalu saja berfoto bersama dengan yang lain, entah itu berdua atau bertiga. Aku pun kembali mengamati foto kami. Setelah di telisik, ternyata foto tersebut tidak hanya mengenai Naomi, melainkan juga Noella! Oh tidak, apa mungkin mereka berdua akan mati secara bersamaan?

“hey, Viny, gue sama Noella mau pergi ke supermarket. Lo mau ikut gk?” Tanya Naomi.
“gk. Kalian aja” ucapku sambil terus focus ke komputer.
“yaudah. Kalo mau nyusul, kita pergi ke supermarket deket taman hiburan kemarin” ucap Noella lalu pergi bersama Naomi.
aku menoleh kea rah mereka, “hati-hati”

mereka hanya mengacungkan jempol mereka. Aku pun kembali focus ke computer. Aku terus menelisik foto Naomi dan Noella. Di foto tersebut, Noella dan Naomi sedang berada di stand games tembak. Posisi mereka adalah saling berhadapan, namun pistol milik Noella mengarah ke Naomi. Sementara Naomi mengarahkan tangannya seolah mendorong Noella. Dibelakang Noella pun terdapat sepertu paku-paku yang siap menancap ke punggungnya.
Ah, sepertinya tak apa-apa, mengingat tak ada hal-hal seperti itu. Aku pun merebahkan tubuhku di kasur tak berapa lama aku tertidur.

***

“mi, mau beli apa?” Tanya Noella ke Naomi. Saat ini mereka sedang ada di bagian makanan ringan.
“beli cemilan-cemilan, kek chiki, permen, biscuit, atau apa dah. Sekalian beli soft drink” ucap Naomi sambil memasukan beberapa snack ke keranjang.
“oh, oke-oke” ucap Noella sambil ikut-ikutan memasukan makanan ringan ke keranjang. Setelah itu, mereka mengambil beberapa minuman dan di masukkan ke keranjang. Lalu, mereka pun berkeliling supermarket tersebut sebelum pergi ke kasir. Di kasir, mereka kaget saat melihat segerombolan orang bertopeng memasuki supermarket tersebut.
“HEY! Cepat keluarkan seluruh uang yang ada di kasir!!!” ucap salah satu dari mereka sambil menodongkan sebuah pistol. Petugas kasir yang ketakutan hanya bisa menuruti perintah orang tersebut.
Naomi dan Noella berpandangan, lalu mengangguk. Berbekal keberanian dan juga karate sabuk hitam, mereka pun melawan para penjahat tersebut. Keadaan di sekitar kasir pun kacau balau, namun penjahat-penjahat itu berhasil di lumpuhkan.
“telpon polisi” ucap Naomi ke petugas kasir yang langsung mengangguk.
“hah, baru kali ini aku berkelahi” ucap Noella.
“iya bener banget! Seru ye! Hahaha” ucap Naomi. Mereka pun tertawa bersama. Tanpa mereka sadari, seorang dari mereka tersadar dan segera mengambil pistol lalu menembak Noella yang membelakangi penjahat tersebut.
“NOELLA AWAS!!!” ucap Naomi lalu mendorong Noella, menyebabkan Naomi yang tertembak. Noella yang terdorong, tak tau kalau dibelakangnya ada sebuah besi berujung lancip, hingga akhirnya tubuh Noella tertusuk.

***

DEGGGG

Aku tersentak bangun dari tidurku. Keringat dingin kembali membanjiri tubuhku. Mimpi itu seperti nyata. Dengan terburu-buru, aku meraih jaket serta kunci motorku untuk segera pergi ke supermarket tersebut. Sesampainya disana, aku melihat penjahat-penjahat tersebut sudah bergeletakan sementara Naomi dan Noella sedang tertawa. Mataku mendelik saat melihat bahwa salah seorang penjahat bangun. Dengan cepat dan bermodal nekat, aku pun segera menerjang penjahat tersebut sebelum ia menembak Noella, hingga tembakannya meleset.

Sebisa mungkin aku melawan penjahat tersebut. Namun, karena kekuatanku yang memang tak seberapa, penjahat itu melemparku hingga membentur rak makanan. Naomi dan Noella segera berlari menuju penjahat itu dan segera melumpuhkannya. Setelah memastikan bahwa penjahat itu benar-benar pingsan, mereka berdua menghampiriku yang sedang terduduk menahan sakit di kepalaku yang terbentur rak makanan tersebut.

“kalian..gapapa?” tanyaku dengan suara pelan, karena kepalaku sakit sekali.
“gk, kita gapapa. Lo gimana?” ucap Naomi sambil memeriksa bagian tubuhku.
“gk. Aku gak papa”

Aku melihat Naomi yang kaget saat menyentuh bagian belakang kepalaku yang berdarah. Noella dan Naomi pun segera membawaku ke rumah sakit untuk segera mendapat pertolongan.

*****

(3 bulan kemudian)

Hari ini aku, Noella, dan Naomi duduk di taman yang biasa kami ber-5 datangi. Kami duduk sambil menatap langit.

“hvft, jadi garing ye sekarang? Kan biasanya Rona sama Tata….” Noella tak melanjutkan ucapannya. Ia terus menatap langit.
“biasanya mereka yang meramaikan suasana” ucapku melanjutkan. Naomi dan Noella pun merangkulku.
“udah gk usah sedih. Mereka disana pasti sedih kalo ngeliat kamu sedih” ucap Noella. Aku hanya tersenyum menatap mereka.
“yaudah yok cabut” kami semua pun beranjak dari sini dan berjalan sepanjang trotoar. Kami terus berjalan dengan riang. Sesekali kami tertawa akibat celetukan-celetukan yang Noella keluarkan untuk mengejek Naomi.

WUSHHHH

DEGGGGG

Tiba-tiba saja berhembus angis yang begituu dingin, membuat perasaan ku gelisah. Namun, aku mencoba
 menyembunyikan semua itu. Saat kami ingi menyebrang jalan, tiba-tiba saja sebuah truk melaju dari arah kanan kami, sementara dari arah kiri melaju sebuah bus. Kedua kendaraan itu melaju dengan kecepatan tinggi dan sudah sangat dekat dengan kami. Dari tempatku, aku melihat sosok itu. Sosok yang menyebabkan semua ini. Sosok hitam yang pernah menyerangku.

“oh, ini bagus” ucap Noella. Sedetik kemudian, aku merasa tubuhku terhimpit sesuatu, sedangkan kepalaku membentur suatu yang keras. Lalu, semuanya gelap.

FIN.
regards
@ermalda_EULG